Dede Farhan Aulawi Jelaskan Posisi dan Peran Intelijen dalam Pencegahan Terorisme

img 20240318 wa0003 11zon

JAKARTA, Revolusinews.com – Aksi teror yang dilakukan oleh para teroris saat ini sudah tergolong kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime), sebagaimana kejahatan korupsi dan penyalahgunaan narkoba. Pelakunya bisa dari mana saja, agama mana saja, dan bisa terjadi dimana saja. Hal ini bisa terlihat dari beberapa peristiwa terorisme yang terjadi di dunia selama ini menunjukkan fakta – fakta seperti itu. Jadi terorisme tidak melekat pada ‘agama’, melainkan pada perilaku individu atau kelompok individu tertentu. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta yang dicapai, target-target serta metode terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Dengan demikian, semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind).

Hal tersebut disampaikan Pemerhati Terorisme Dede Farhan Aulawi di Jakarta, Jum’at (15/3/2024) ketika diminta pandangannya terkait dengan masalah – masalah terorisme. Menurutnya, terorisme tidak lagi dipahami sebagai tindakan kejahatan dengan kategori crime against state (kejahatan melawan negara) saja, tetapi juga telah dianggap sebagai perbuatan crime against humanity (kejahatan melawan kemanusiaan). Perubahan paradigma ini disebabkan dari masifnya korban masyarakat sipil yang diakibatkan oleh serangan-serangan terorisme. Pelakunya bisa warga negara sendiri, warga asing, atau kolaborasi warga negara sendiri dengan warga asing yang memiliki afiliasi atau pandangan yang sama dalam melakukan aksi teror. Oleh karenanya kerjasama internasional dalam penanggulangan terorisme menjadi penting sekali agar pengendalian dan pencegahannya bisa lebih efektif.

Merujuk UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, terorisme didefinisikan sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, Iingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan. Dalam rangka penanggulangannya diperlukan soft aproach untuk menangkal pemahaman radikalisme dan intoleransi, sehingga diperlukan pelibatan masyarakat sesuai Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.

Selanjutnya Dede juga menyampaikan bahwa adanya pelibatan masyarakat menjadikan warga peka dan sadar akan gejala radikalisme dan terorisme sehingga bisa turut serta dalam upaya pencegahannya. Dengan demikian masyarakat tidak rentan terpapar faham radikal yang bisa berujung pada aksi teror. Apalagi saat ini tindak pidana terorisme terus berkembang mengikuti perkembangan zaman. Modus operandi serangan teror yang mulanya bersifat terstruktur menjadi tidak terstruktur, misalnya dalam serangan lone wolf. Jaringan teror juga tidak hanya melakukan serangan fisik, namun juga melakukan propaganda dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi, misalnya melalui internet dan media sosial.

Pembuktian dalam tindak pidana terorisme berlaku asas lex specialis derogat legi generalis. Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Meski sudah ada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pembuktian tindak pidana terorisme juga secara khusus diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 menyatakan:
(1) Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen;
(2) Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri;
(3) Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari;
(4) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri setempat memerintahkan melaksanakan penyidikan.

Artinya, untuk pidana terorisme, jika terdapat informasi intelijen yang cukup, maka dapat segera dilakukan penindakan. Meski demikian, informasi tersebut tetap harus dikembangkan sehingga dapat menjadi alat bukti yang sah digunakan dalam proses peradilan. Penggunaan alat bukti dalam Tindak Pidana Terorisme diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pasal 184 (1) KUHAP menjelaskan Alat bukti yang sah adalah Keterangan saksi, Keterangan ahli, surat, Petunjuk, dan Keterangan Terdakwa. Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018, alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi :
a) Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b) Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
c) Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :
1.  Tulisan, suara, atau gambar;
2.  Peta,rancangan,foto, atau sejenisnya;
3. Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya;

Dalam konteks ini peran Intelijen sangat penting sekali guna melakukan pencegahan kejahatan terorisme. Namun ada dua permasalahan menarik, yaitu karakteristik penegakan hukum kejahatan terorisme dan kebijakan hukum pidana terkait fungsi intelijen dalam pemberantasan kejahatan terorisme dengan berdasarkan pada penelitian yuridis normatif, melalui pendekatan statute approach dan conceptual approach. Dengan adanya ketentuan mengenai penggunaan laporan intelijen sebagai alat bukti permulaan, menimbulkan permasalahan hukum, karena dalam disiplin hukum pembuktian terdapat perbedaan antara bukti kejahatan (crime evidence) dengan bukti intelijen (intelligence evidence). Dalam bukti kejahatan (crime evidance) diperlukan fakta hukum, sedangkan dalam bukti intelijen (intelligence evidence) tidak diperlukan fakta hukum.

“Fungsi intelijen sebagai alat deteksi dini dalam mencegah terjadinya tindak pidana terorisme harus dapat dilaksanakan. Akan tetapi belum adanya undang – undang yang integral mengenai operasional lembaga intelijen negara dalam menghadapi kejahatan – kejahatan yang terorganisir menjadikan lembaga intelijen menghadapi kendala dalam mengantisipasinya. Kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi dan menanggulangi kejahatan terorisme dengan menggunakan kebijakan penal (penal policy) merupakan langkah yang ditujukan untuk menindak dan memproses secara hukum bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana terorisme yang mempunyai keterbatasan dalam penerapannya, yaitu bersifat repressif bukan preventif,” pungkasnya mengakhiri.

No More Posts Available.

No more pages to load.