JAKARTA, Revolusinews.com – Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Muhammadiyah se-Indonesia (BEM PTMAI) dengan tegas menolak usulan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk mencopot lembaga-lembaga tinggi negara seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), hingga Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri).
Mereka menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan mengancam sistem demokrasi di Tanah Air.
Pada Selasa, 4 Februari 2025, DPR RI menggelar rapat paripurna di Gedung Senayan, Jakarta, untuk membahas rancangan tata tertib yang memungkinkan parlemen memiliki kewenangan lebih besar dalam pencopotan pejabat tinggi di lembaga negara.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan bahwa DPR dapat mengajukan rekomendasi untuk melakukan fit and proper test terhadap pimpinan lembaga-lembaga tersebut. Evaluasi ini disebut bertujuan untuk memastikan kinerja mereka tetap sejalan dengan kepentingan masyarakat dan negara.
Namun, usulan ini langsung menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk dari BEM PTMAI yang menilai langkah DPR justru melangkahi prinsip-prinsip konstitusional dan berpotensi membuka celah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Koordinator Presidium Nasional BEM Perguruan Tinggi Muhammadiyah se-Indonesia, Yogi Syahputra Alidrus dalam keterangannya pada Selasa (4/2) di Menteng, Jakarta Pusat, mengecam langkah DPR yang ingin memperluas kewenangannya dalam mencopot pejabat di institusi negara.
“Penjelasan DPR terkait kebijakan ini menunjukkan adanya penyalahgunaan kewenangan yang sangat mendalam. Jika ini tetap dipaksakan, maka DPR tidak ingin negeri ini berdiri di atas hukum yang adil dan konstitusional, melainkan di atas hukum yang mereka atur sendiri untuk kepentingan politik,” tegas Yogi.
BEM PTMAI menilai kebijakan ini berpotensi melemahkan prinsip checks and balances, yang merupakan dasar dari sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam analisis mereka, tiga fungsi utama DPR yang tertuang dalam UUD 1945 dan UU MD3—yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan—tidak mencakup kewenangan untuk mencopot pimpinan lembaga negara secara sepihak.
“Kami tidak memahami arah kebijakan DPR dalam isu ini. Mereka adalah lembaga perwakilan rakyat yang seharusnya menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan sesuai dengan amanat UUD 1945 dan UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang MD3. Jika kebijakan ini diterapkan, maka jelas ini bertentangan dengan prinsip demokrasi dan konstitusi yang kita junjung,” tambah Yogi.
Selain bertentangan dengan konstitusi, kebijakan ini juga dianggap mengancam independensi lembaga negara. Jika DPR diberikan kewenangan mencopot pimpinan KPK, MK, MA, hingga Kapolri, maka dikhawatirkan akan muncul intervensi politik yang dapat mengganggu fungsi lembaga-lembaga tersebut dalam menjalankan tugasnya secara independen.
Dalam sistem demokrasi yang sehat, lembaga seperti KPK, MK, dan MA harus berdiri di atas kepentingan politik praktis. Jika DPR bisa dengan mudah mengganti pimpinan lembaga tersebut, maka independensi mereka dalam menegakkan hukum dan menjaga konstitusi akan terancam.
BEM PTMAI menegaskan bahwa kewenangan DPR harus tetap dalam koridor konstitusi dan tidak boleh melampaui batas yang telah diatur dalam UUD 1945. Mereka mendesak DPR untuk membatalkan kebijakan ini dan fokus pada tugas utama sebagai lembaga legislatif yang bekerja demi kepentingan rakyat.
“Kami akan terus mengawal kebijakan ini dan siap melakukan aksi lebih lanjut jika DPR tetap memaksakan kehendaknya. Demokrasi dan supremasi hukum harus dijaga, bukan malah dikebiri dengan aturan yang tidak sesuai dengan konstitusi,” tutup Yogi.