SUKABUMI, Revolusinews.com – Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial (Gema PS) Jabar Banten menggelar diskusi dengan Praktisi Reforma Agraria dan PWI Kabupaten Sukabumi dalam rangka Peringatan Hari Tani Nasional bertempat di Sekretariat Gema PS Jabar Banten Jalan lingkar selatan Perapatan Baros Kota Sukabumi, Jawa Barat pada Selasa (24/9/2024).
Diskusi yang bertema “Reforma Agraria dan Gerakan Ketahanan Pangan Untuk Pemberdayaan Perekonomian Masyarakat Petani” dibuka secara resmi oleh PWI.
Sedangkan narasumber yang menjadi pembicara dalam diskusi tersebut KH. Buya Royanudin selaku Tokoh Ulama Sukabumi yang konsen terhadap Reforma Agraria. Sedangkan narasumber dari Gema PS Bah Acep selaku Ketua Gema PS Jabar Banten
Bah Acep dalam pemaparannya tentang Reforma Agraria menjelaskan teritorial Sukabumi yang terluas kedua se Jawa memiliki objek reforma agraria terluas pula, dimana objek reforma agraria berupa tanah negara bebas, tanah HGU yang telah habis masa berlakunya, tanah timbul dan tanah kelebihan atau tanah Abstente.
“Reforma Agraria juga terdapat pada area kehutanan dimana terdapat pemukiman dalam kawasan persawahan yang di tetapkan menjadi program ketahanan pangan yang sudah ada dasar hukumnya,” kata Bah Acep.
“Untuk itu Kementerian KLHK berupa Program Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam rangka Penataan Kawasan Hutan PPTPKH, lokasi tersebut terdapat ribuan bidang tanah yang akan dikeluarkan dari kawasan hutan kemudian akan diterbitkan Sertifikatnya, saat ini kita sedang proses pendataan, pemetaan bidang dan administrasi Sporadik, yang didampingi Gema PS DPC Sukabumi,” imbuh Bah Acep
Bah Acep menjelaskan bahwa KLHK sekarang sudah mengeluarkan SK menteri tentang Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus KHDPK, dimana Kawasan Hutan yang tadi nya di kelola oleh Perhutani, di tarik oleh KLHK kemudian ditetapkan menjadi area KHDPK dengan SK No 287, yang mana lokasi tersebut di terbit kan Izin nya kepada masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH), Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD), Koperasi, Kelompok Tani, atau Gapoktan.
Adapun di Sukabumi terdapat 21.000 hektar area KHDPK, yang tersebar di 93 Desa, yang sudah di keluarkan dari Pengelolaan Perhutani dan telah menjadi area KHDPK, sedangkan Perhutani sendiri telah di tetapkan Menteri untuk mengelola lahan dengan SK 264 dengan peta area pengelolaan yang terpisah.
Sejak di terbitkan nya SK 287 tentang KHDPK yang sempat di Gugat di PTUN Jakarta Timur, melalui Putusan PTUN dimenangkan KLHK, maka sejak itu perhutani sendiri tidak memiliki kewenangan selain mengurus penyelesaian aset yang diatur melalui Peraturan menteri No 4.
“Hari ini masyarakat khususnya di Sukabumi telah memiliki area Pengelolaan lahan Pada Kawasan hutan yang telah di proses izin nya melalui direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial yang di syahkan oleh DIRJEN Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, atasnama menteri KLHK dengan Hak Pakai 35 tahun. Begitu juga halnya apabila kemudian habis masa berlaku nya dapat di perpanjang, itupun berbagai aturan teknis serta syarat dan ketentuan harus di tempuh dan ada perencanaan teknis melalui Rapat Rencana Kelola Perhutanan Sosial (RKPS), melalui RKPS tersebut, maka Program ketahanan pangan akan sinergi dengan perhutanan sosial, sehingga Dinas Koperasi, Dinas Pertanian dan Dinas Ketahanan Pangan sejati nya harus di libatkan dalam RKPS KTH atau LPHD, yang di Bina Cabang Dinas Kehutanan CDK serta di dampingi oleh Gema PS, sehingga Program Ketahanan Pangan dapat di petakan sesuai Peta Potensi Desa Masing-masing dimana terdapat area KHDPK,” pungkas Bah Acep.
Sementara itu, KH. Buya Royanudin selaku Kiai Praktisi Reforma Agraria, menyambut gembira dengan adanya diskusi antara Pratisi, Kiai dan PWI, hal ini akan menjadi dorongan moril sekaligus advokasi Jurnalis terhadap kepentingan Petani Karena Eksistensi Praktisi dalam memperjuangkan hak petani perlu diketahui Publik, terutama dinas dan lembaga terkait, agar perjuangan guna mendapatkan pengakuan secara hukum atas hak rakyat perlu di publikasikan, sehingga Intimidasi dan kesewenang wenangan oknum akan dapat di minimalisir.
“Para Ulama telah sepakat bahwa memperjuangkan hak itu hukum nya wajib, mengerjakan hal wajib adalah Ibadah, sedangkan Bab Pertanahan sebagai mana kalo Ulama Jelas “Man ahyal ardol may’yitata fahiya Lahu” artinya Barang siapa yg menggarap tanah yang di terlantarkan dialah pemilik nya, sejalan dengan Undang Undang No 5 tahun 1960 tentang Dasar-dasar pokok agraria,” papar Buya
“Kami juga berharap dengan sinergitas Praktisi, Kiai dan PWI ini bisa di jalankan secara massife di lokasi-lokasi Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, maka oknum yang selama ini melakukan Intimidasi dan penyalahgunaan wewenang dapat di minimalisir, sehingga dapat di pastikan petani berdaya, ekonomi meningkat, program ketahanan pangan akan berhasil,” tutup Buya.