DEPOK, Revolusinews.com – Pusdiklat Prawita Genppari menyelenggarakan pelatihan selama 1 hari dengan tujuan untuk membekali para peserta dengan pengetahuan dan keterampilan dalam memahami dan mengantisipasi potensi ancaman penyalahgunaan senjata biologi, baik yang dilakukan oleh state actor ataupun non state actor/lone-wolf operators.
Pimpinan Pusdiklat Prawita Genppari, Dede Farhan Aulawi mengatakan, pelatihan tersebut berdasarkan hasil pemikiran bahwa virus akan menjadi penyebab utama penyakit-penyakit di masa depan. Kemampuan virus untuk bermutasi dan beradaptasi dengan cepat menjadikannya lebih sulit dikendalikan dibandingkan patogen lain seperti bakteri. Ditambah aktivitas intens manusia dalam hal deforestasi, urbanisasi, dan perdagangan satwa liar telah memberi ruang dan peluang penularan virus dari hewan ke manusia pun semakin meningkat. Oleh karena itu, fokus utama bidang kesehatan global ke depan adalah kesiapsiagaan terhadap ancaman virus. Variansi pandemi dan serangan teror biologi berbasis virus bisa semakin meningkat.
“Ada epidemi yang disebabkan secara alami dan epidemi yang disebabkan oleh bioterorisme yang bahkan bisa jauh lebih buruk daripada apa yang dialami selama ini. Selain virus, bisa saja berbasis rickettsia, bakteri, fungi atau jamur dan protozoa. Mikroorganisme yang dapat mengakibatkan dampak penyakit menular atau agensia biologi merupakan salah satu bentuk ancaman aktual non militer yang perlu diwaspadai,” ujar Dede kepada RevolusiNews.com yang diterima di Depok, Sabtu (3/5/2025).
Kemudian, Dede mengungkapkan, bahwa merujuk pada skenario ancaman pandemi global yang disusun oleh Johns Hopkins Center for Health Security secara umum menggambarkan pentingnya penyiapan dalam menghadapi wabah atau pandemi yang dimulai pada tahun 2025. Dari response scenario timeline dapat dilihat bahwa vaksin SPARS telah siap untuk di produksi dan di distribusikan hanya dalam waktu 6 bulan sejak kasus kematian pertama. Selain itu, penyintas SPARS masih beresiko mengalami pneumonia dan gangguan neurologi.
Skenario wabah atau pandemi sejak kasus pertama hingga secara resmi dinyatakan berakhir hanya dalam rentang waktu 3 tahun. Kecanggihan bioteknologi dan rekayasa genetika dapat memberikan dampak positif terhadap kemajuan teknologi suatu negara. Kecanggihan tersebut juga dapat memberikan dampak negatif jika diakses oleh teroris bahkan seorang lone-wolf operators dalam membuat senjata biologis. Kemajuan di bidang kecerdasan buatan (AI) memungkinkan pemantauan pola penyebaran penyakit lebih dini. Teknologi genomik juga membantu mendeteksi mutasi virus secara cepat, sehingga vaksin dan obat bisa dikembangkan lebih efisien.
Untuk memahami potensi ancaman aktual di masa kini dan masa depan tersebut, dua disiplin ilmu yaitu bidang Intelijen dan Kesehatan (Media) perlu digabungkan menjadi Intelijen Kesehatan (Medical Intelligence), sehingga potensi ancaman yang dapat mengganggu keamanan masyarakat dan mengancam pertahanan negara disa diantisipasi dan dicegah lebih awal.
Kemudian, Dede merincikan dalam pelatihan tersebut subjek pembahasannya yaitu :
– Perspektif Senjata Berbasis Bioteknologi (Biological Weapons)
– Wabah Natural outbrake of diseases) & un-natural outbrake of diseases
– Bioterrorism, Biosecurity & Biodefense
– Target & Skala Operasi Senjata Biologi
– Sebaran Vector & Non Vector
– Konvensi Biological and Toxin Weapons 1972
– Medical Intelligence Evidence Based
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi :
– Pak Tata : 0815 7897 7777
– Ibu Ines : 0813 2498 5928