Oleh : Septian Haditama Research Public Policy And Human Right (Peneliti Kebijakan Publik dan Hak Asasi Manusia)
Revolusinews.com – Dugaan kasus penyitaan banyak ijazah yang terjadi di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 3 Kota Depok menjadi atensi yang harus ditanggapi dengan serius. Bagaimana bisa sekolah mempunyai kewenangan untuk melakukan penyitaan ijazah kepada murid karena alasan tunggakan biaya-biaya, apalagi ini terjadi di sekolah negeri yang mana berdasarkan peraturan Kemendikbudristek satuan pendidikan tidak diperbolehkan menahan ijazah siswa dengan alasan apapun. Dengan demikian, sekolah dilarang menjadikan ijazah sebagai jaminan pembayaran tunggakan.
Perlu diketahui, sekolah SMA dan SMK dalam fungsi dan tugasnya menjadi kewenangan pemerintah provinsi dalam hal kegiatan-kegiatan pembangunan fasilitas sekolah sebagaimana diatur Undang-Undang No 23/2014 tentang pemerintah daerah ditambah bantuan dana operasional sekolah yang bersumber dari pemerintah pusat beserta dukungan pemerintah daerah. Sepatutnya tidak ada alasan sekolah kekurangan dana untuk pembangunan fasilitas sekolah dan meminta iuran tambahan yang dibebankan ke murid.
Berdasarkan informasi yang beredar di media pihak sekolah di SMKN 3 Kota Depok menyatakan pemungutan iuran sumbangan yang diminta kepada seluruh murid sudah melalui prosedur kesepakatan dengan perwakilan komite sekolah yang artinya iuran tersebut sudah mendapatkan persetujuan dari semua wali murid di sekolah.
Akan tetapi, iuran sumbangan yang diminta pihak sekolah tidak sepatutnya membebani secara keseluruhan tanpa mempertimbangkan keadaan ekonomi dan status sosial masing-masing murid sekolah ditambah dengan patokan biaya-biaya tertentu. Alhasil sudah pasti banyak siswa yang tidak mampu membayar dan berujung pada penyitaan Ijazah, padahal seharusnya Komite Sekolah dalam kewenangannya dilarang untuk memungut iuran sekolah terkhusus siswa yang tidak mampu. Hal ini tertuang dalam Permendikbud nomor 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
Di sini perlu ditekankan apakah wali murid melalui Komite Sekolah membiarkan pihak sekolah melakukan penyitaan atas dasar penunggakan iuran atau memang Komite Sekolah juga menyetujui adanya penyitaan tersebut. Ironis jika itu sengaja dibiarkan, padahal harusnya Komite Sekolah mempunyai kekuatan untuk melakukan protes dan penolakan, bahkan menuntut pihak sekolah dengan tuduhan pungutan liar karena memang sudah memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi pungutan liar. Sehingga, perlu dilakukan evaluasi dan perbaikan terhadap peran dan fungsi komite sekolah dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.
Kasus pungutan liar yang terjadi di Kota Depok sudah sangat merugikan dan meresahkan, sehingga pemerintah membentuk tim kerja sapu bersih pungutan liar (Saber Pungli). Akan tetapi jauh api dari pada panggangan keberadaan saber pungli tidak bisa dijalankan secara optimal karena terfokus pada banyak bidang pengaduan, sehingga banyak warga yang kebingungan untuk melaporkan kasus pungli yang terjadi di sekolah. Akhirnya media sosial mengambil alih fungsi kerja Saber Pungli seperti kebiasaannya menunggu kasus viral baru ditindaklanjuti, lebih mirisnya bahkan banyak warga mengandalkan pada peran konten kreator dan para aktivis pendidikan untuk mengadukan nasibnya.
Wajib untuk diperbaiki bersama bahwa untuk kasus-kasus dugaan pungutan liar dan korupsi dana pendidikan Pemerintah Daerah Kota Depok mempunyai kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dan penindakan dengan cara membentuk tim saber pungli yang berfokus pada bidang pendidikan dengan partisipasi masyarakat aktif sehingga masyarakat dapat tersadarkan untuk aktif menolak segala upaya tindakan busuk koruptor.